Sunday
Perempuan Aceh Dilarang Mengangkang
Rasanya geli banget mengetahui keributan di Aceh soal pelarangan perempuan mengangkang di atas motor. Dalam hati saya, ini apa lagi?! Apa tak ada pekerjaan lain yang lebih penting untuk dipikirkan sampai urusan seperti ini menjadi sesuatu yang penting?! Nggak takut dengan petir yang lebih besar lagi?! Kemaluan itu sudah diletakkan di mana?!
Kita selalu heboh dengan masalah lalu selalu santai karena merasa bahwa setiap masalah pasti ada solusinya. Solusi selalu ada tapi diterapkan atau tidak?! Solusi yang sifatnya sementara saja tidak diterapkan, asyik sibuk dengan keinginan, hasrat, nafsu, dan ego sendiri, apalagi solusi yang mendasar untuk menyelesaikan inti masalahnya. Pohon ditebang dahannya tidak akan mati bila akarnya belum dimatikan. Lagipula, yang selalu dihebohkan adalah soal buahnya, bukan inti dari bibitnya.
Pernah saya dimarahi oleh seseorang ketika saya datang berkunjung ke Aceh tanpa menggunakan jilbab/kerudung. Saya dianggap tidak menghormati adat istiadat, budaya, dan peraturan syariat di Aceh. Lantas saya berkata, "Sebagai seorang muslim, maka yang harus saya patuhi dan taati adalah perintah Allah. Islam yang saya yakini memiliki peraturan yang bukan hanya sekedar syariat. Yang paling mendasar, saya diajarkan bahwa Allah membenci dusta dan kemunafikan, dan saya juga harus bisa menghormati orang lain. Saya datang dengan segala kejujuran yang saya miliki dengan tampil apa adanya karena saya menghormati Aceh. Bila memang dengan saya berdusta dan munafik hanya untuk dianggap menghormati, lalu membuat kalian senang, maka tetap saya tidak akan menggunakannya. Kenapa?! Karena Allah yang paling saya takuti bukan manusia, saya lebih memilih menyenangkan Dia daripada manusia. Itu jauh lebih penting bagi saya. Kehormatan ada pada mereka yang mampu menghormati bukan memaksa dan merasa lebih baik atau bermoral."
Orang itu pun terdiam sejenak dan berkata ke mana-mana dengan mulai menyebut-nyebut ayat di Al Quran soal penggunaan jilbab yang diwajibkan oleh Allah. Saya berkata, "Allah memberikan pilihan bagi saya untuk memakai atau tidak, meski Dia menganjurkannya. Resiko dan konsekuensinya saya tanggung sendiri karena pada saatnya nanti saya akan berhadapan dengan Dia langsung. Saya bukan ahli kitab dan ahli agama, namun saya tidak pernah menemukan satu pun ayat yang menyebutkan bahwa saya berhak dihukum oleh manusia, hanya karena saya tidak menggunakan jilbab. Pengadilan Dia-lah yang akan menentukannya kemudian."
Saya pun melanjutkan, "Lagipula, buat saya, ayat suci Al Quran sangatlah sakral sifatnya sehingga saya tidak berani menyebutnya sembarangan apalagi untuk membenarkan pemikiran saya. Saya diberi kehormatan untuk berpikir dan merasakan, dan kebebasan untuk kebenaran yang saya yakini dengan cara saya sendiri. Membawa-bawa dan mengatasnamakan ayat-ayat di Al Quran sama artinya dengan tidak menghormati Dia, karena saya tidak mampu untuk hebat seperti Dia yang mampu mengartikannya dengan pasti benar. Orang Aceh dulu sangat hebat, mereka tak perlu menggunakan dalil-dalil AlQuran dan mengumbarnya sembarangan untuk membawa Aceh menjadi negeri Serambi Mekah. Mereka takut sekali sehingga kemudian terciptalah hadih madja yang merupakan buah pikiran atas penerjemahan pikiran mereka atas ayat-ayat tersebut. Sekarang?! Apakah dengan penerapan syariat yang dianggap sedemikian hebatnya mampu mempertahankan dan membuat sebutan Serambi Mekah itu menjadi lebih hebat?!"
Saya pun bercerita kepadanya soal bagaimana kita dianjurkan oleh Para Nabi dan Imam untuk memudahkan pernikahan dengan tidak meminta mahar yang berlebihan dan tidak melakukan pesta yang berlebihan sehingga melupakan kaum duafa. Jika di Aceh itu sudah menjadi budaya dan adat istiadat, maka sebaiknya dipelajari dulu asal mulanya. Perempuan itu sedemikian terhormatnya dan pria itu sedemikian bertanggungjawabnya, masa lalu Aceh yang penuh dengan peperangan membuat pria tidak ingin perempuan menderita.
Nah, pertanyaan saya, "Sekarang Aceh sudah damai dan tenang, namun mahar itu semakin tinggi sementara tingkat perekonomian tidak lebih baik dari jaman dulu. Masih banyak orang yang tak mampu, namun pesta itu selalu besar-besaran dan yang diundang pun lebih banyak orang yang mampu. Banyak pria yang akhirnya mengurungkan niat menikah karena tak mampu memberikn mahar yang diminta dan memberikan pesta pernikahan yang mewah. Perempuan pun menikah belum tentu dengan yang dicintainya tetapi yang mampu secara financial. Apakah kemudian, bila saya bilang ini semua salah dan siapapun yang melanggar apa yang sudah diajarkan Allah itu harus dihukum, maka apakah kemudian dibantah karena adat dan budaya?! Sebetulnya, apa yang menjadi acuan utama peraturan dan hukum kalian?! Allah atau pikiran manusia?! Keselarasan atas pemikiran dan peraturan yang diterapkan Aceh dahulu dengan peraturan yang dibuat Allah sangatlah luar biasa karena mereka yakin sepenuhnya dengan ke-Islaman Aceh, sehingga tidak perlu berlebihan. Untuk apa juga berlebihan?! Mubazir itu juga dibenci Allah, kan?!"
Kembali ke urusan mengangkang ini. Bagi saya, masalah ini adalah bunga-bunga atas ketidakyakinan Aceh atas ke-Islaman Aceh yang merupakan jati diri mereka sendiri. Tidak penting banget urusan mengangkang ini diurus sedemikian rupa. Otak dan hati kotor yang membuat manusia berpikiran kotor atas perempuan yang mengangkang di atas motor. Jika tidak kotor, maka akan berpikir biasa saja. Keamanan pengendara motor yang duduk mengangkang jauh lebih aman dibandingkan bila membonceng menyamping. Apakah faktor keselamatan ini tidak dipikirkan?! Jangan kemudian dicari solusi perempuan tidak boleh naik motor, memangnya mau belikan mobil untuk semua perempuan?!
Benahi saja dulu jati diri dan keyakinan atas ke-Islaman Aceh itu sendiri. Seorang pemimpin yang meributkan hal ini harusnya dipertanyakan ke-Acehannya. Yang memimpin Aceh seharusnya adalah seorang Aceh sejati yang tahu persis apa dan siapa Aceh. Berdarah dan lahir di tanah Aceh, tidak menjamin kualitas ke-Acehannya apalagi bila tidak "stabil" sehingga mudah dipengaruhi walaupun merasa sudah sangat besar. Objektifitas dan kemampuan bernegosiasi serta kepemimpinan seorang pemimpian Aceh di jaman dulu yang hebat, tidak mengandalkan yang lain tapi diri sendiri. Terbayang bagaimana wajah seorang Tjut Nyak Dien dan Hasan Tiro menyaksikan ini semua. Saya pun menangis.
Salah satu karakteristik dari Islam adalah sakralisasi sejarah, karena itu dipelajari sekali bagaimana perjalanan para Nabi dan Imam. Sekarang, manuskrip-manuskrip Aceh yang luar biasa itu saja tidak dihargai, dijual dan malah dibuang atau disia-siakan dengan berbagai alasannya. Jika pun ada yang berkata bahwa urusan orang Aceh yang paling tahu adalah Aceh sendiri, maka saya hanya bilang, "Orang di luar Aceh mempelajari manuskrip dan sejarah yang kalian buang itu sehingga kami tahu apa kelebihan dan kelemahan kalian. Bagaimana bisa menjadi merdeka bila jati diri sendiri pun tidak dimiliki dan terus dihilangkan?! Tahu apa kelebihan dan kekurangan kalian sendiri pun tidak. Bagaimana bisa bertahan dari setiap serangan dan sisipan serta susupan?! Kemaluan yang tersebar mudah sekali untuk dijadikan bahan untuk dipermalukan karena sudah mempermalukan diri. Aceh tak akan kehilangan ke-Islamannya hanya karena duduk ngangkang di motor, justru karena pikiran dan hati yang kotor melihat perempuan duduk ngangkang di motor!"
Perempuan mengangkang membuat petir menyambar di hati dan kepala yang kotor. Tidak akan ada petir bila tidak ada benturan awan hitam yang saling beradu. Bila pun terus berlanjut maka air mata pun akan terus menetes tiada henti, mau sampai kapan?!
rider awek tudung
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.